Tawassul diambil dari wasilah yang artinya menjadikan sesuatu sebagai perantara antara dia dengan Allah Tabaraka wa Ta’ala. Dan tawassul dibagi oleh para ulama menjadi dua macam:
Tawassul yang syar’iy yaitu tawassul yang diidzinkan oleh syari’at dan ia mempunyai beberapa macam:
Pertama: Tawassul dengan melalui asmaul husna.
Ini berdasarkan firman Allah Ta’ala yang artinya:
“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. nanti mereka akan mendapat Balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan”. (Al A’raaf: 180).
Kedua: Tawassul dengan melalui amal shalih.
Berdasarkan hadits yang mengkisahkan tiga orang yang masuk ke dalam goa, lalu jatuh batu besar dari gunung dan menutup mulut goa tersebut, lalu masing-masing mereka bertawassul dengan menyebutkan amalan shalih yang mereka pernah lakukan.
Ketiga: Tawassul dengan melalui orang shalih yang masih hidup dan hadir.
Berdasarkan hadits orang buta yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam minta dido’akan agar disembuhkan matanya.
Dari Utsman bin Hanif bahwa ada seorang laki-laki buta datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Berdo’alah kepada Allah agar menyembuhkanku”. Beliau bersabda: “Jika kamu mau aku akan berdo’a dan jika kamu mau bersabar itu lebih baik”. Ia berkata: “Do’akanlah”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruhnya berwudlu dan membaguskan wudlunya dan berdo’a dengan do’a ini: “Ya Allah, aku memohon kepadaMu melalui NabiMu Nabi rahmat, wahai Muhammad aku menghadap kepada Rabbku melalui kamu agar hajatku dipenuhi, ya Allah berilah syafa’at untuknya terhadapku”. Maka penglihatannyapun kembali seperti semula”. (HR Ibnu Majah dan lainnya).
Tawassul yang diharamkan.
Tawassul yang diharamkan ada dua macam, yaitu tawassul yang syirik dan tawassul yang bid’ah.
Tawassul yang syirik adalah menjadikan Nabi atau orang shalih yang telah meninggal sebagai perantara dalam berdo’a kepada Allah, dengan mengatakan misalnya: “Ya Allah, dengan melalui Syaikh fulan (yang telah meninggal), kabulkanlah permintaanku”. Ini adalah kesyirikan yang dilakukan oleh kaum musyrikin arab di zaman di utusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar”. (Az Zumar: 3).
Imam Qatadah rahimahullah berkata: “Dahulu (sebagian orang-orang kafir quraisy) apabila dikatakan kepada mereka: “siapa Rabb dan pencipta kamu? Siapa yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air dari langit?” Mereka menjawab: “Allah”. Dikatakan kepada mereka: “Lalu apa makna ibadahmu kepada patung-patung?” Mereka menjawab: “Agar mereka (patung-patung yang diberi nama dengan nama-nama orang shalih itu) mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya, dan memberikan syafa’at kepada kami disisiNya”.[1]
Dalam ayat ini kaum musyrikin ketika menyembah Latta, hubal, dan patung-patung lainnya yang diberi nama orang-orang shalih mengatakan bahwa tujuan mereka bukanlah menyembah patung-patung tersebut bahkan mereka meyakini bahwa patung-patung tersebut tidak dapat menciptakan apa-apa, namun tujuan mereka adalah agar orang-orang shalih yang telah meninggal itu dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.
Ini tidak ada bedanya dengan para penyembah kuburan di zaman ini, mereka datang kepada kuburan-kuburan para wali dan berkata: “Kami tidak menyembah kuburan, namun kami ingin agar do’a kami di sampaikan kepada Allah Ta’ala dan agar orang shalih yang telah mati itu memberikan syafaat kepada kami di sisi Allah”. Padahal kaum musyrikin arabpun sama mengatakan demikian bahwa tujuan mereka bukan menyembah patung, tapi agar dapat menyampaikan doa-doa mereka kepada Allah dan memberikan syafaat kepada mereka di sisiNya.
Adapun tawassul yang bid’ah adalah bertawassul dengan melalui hak dan kedudukan Nabi Muhammad shallalahu ‘alaihi wasallam, karena perbuatan ini tidak pernah dilakukan oleh para shahabat, tidak pula para tabi’in dan tabi’uttabi’in.
Menjawab syubhat.
Sebagian kaum muslimin ada yang membela tawassul yang syirik dan bid’ah ini, bahkan mengatakan bahwa tawassul melalui orang shalih yang telah mati bukan syirik, dan menuduh bahwa yang mengatakan syirik adalah wahabi yang menyesatkan, dan mereka mengemukakan dalil yang banyak yang seakan-akan membolehkan tawassul melalui mayat, dan kita akan menyebutkan dalil-dalil mereka satu persatu diringi dengan jawaban terhadap dalil tersebut satu persatu:
Syubhat 1. Firman Allah Ta’ala yang artinya:
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan (al wasilah) kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti”. (Al Israa: 57).
mereka berkata: “Ayat ini menyebutkan bahwa mereka mencari al wasilah (perantara) kepada Allah, ini menunjukkan bolehnya bertawassul melalui mayat di kuburan”.
Jawaban:
Pertama: Memahami ayat ini untuk membolehkan tawassul dengan melalui para Nabi dan orang-orang shalih adalah pemahaman yang sangat rusak, karena bertentangan dengan penafsiran para ahli tafsir dalam kitab-kitab tafsir, bahwa maksud ayat ini adalah bahwa sesembahan-sesembahan yang disembah selain Allah berupa Malaikat, Jinn, Nabi Isa dan ibunya serta Nabi Uzair dan sebagainya justru mencari wasilah yaitu qurbah (taqarrub) untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Kedua: Bila kita melihat ayat sebelumnya, akan tampak jelas maknanya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
56. Katakanlah: “Panggillah mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allah, Maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya daripadamu dan tidak pula memindahkannya.”
57. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti. (Al Israa: 56-57).
Bila kita perhatikan ayat tersebut semakin jelas bahwa mereka yang mencari al wasilah kepada Allah adalah orang-orang yang diseru selain Allah berupa malaikat, jinn, para Nabi dan sebagainya. Mereka sendiri berusaha mendekatkan diri kepada Allah dan takut dari adzabNya, maka bagaimana kamu jadikan mereka sesembahan selain Allah??
Bahkan redaksi ayat ini menunjukkan syiriknya tawassul dengan melalui para Nabi dan orang shalih yang telah meninggal, dari dua sisi:
Kaum musyrikin meyakini bahwa para malaikat, jinn, para nabi dan orang-orang shalih tidak dapat menciptakan apapun tidak pula memberikan rizki, tidak bisa memberi manfaat dan mudlarat, namun mereka menjadikannya sebagai wasilah yang dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah sedekat-dekatnya dan berharap syafaat darinya sebagaimana telah kita jelaskan, namun Allah menganggap mereka musyrik karena telah menjadikan mereka tandingan selain Allah.
Bahwa malaikat, jinn, para nabi dan sebagainya yang diseru selain Allah dan dijadikan sebagai wasilah kepada Allah, mereka sendiri berusaha mendekatkan diri kepada Allah, berharap rahmatNya dan takut dari adzabNya. Artinya mereka tidak mampu untuk memberikan manfaat untuk dirinya atau menolak mudlarat dari dirinya, mereka pun takut dari adzab Allah dan tidak mampu menolong siapapun dari adzabNya kecuali dengan idzin Allah. Bila untuk dirinya sendiri tidak mampu bagaimana untuk orang lain?! Maka orang yang bertawassul kepada dzat para Nabi atau orang shalih yang telah mati, telah menjadikannya tandingan selain Allah.
Ketiga: Bahwa yang dimaksud dengan al wasilah dalam ayat ini adalah qurbah (ketaatan) sebagaimana yang ditafsirkan oleh ibnu Abbas, Qatadah dan Mujahid[2].
Keempat: Makna al wasilah dalam ayat tidak tidak ada bedanya dengan makna al wasilah dalam surat Al Maidah ayat 35 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya (al wasilah), dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan”.
Imam ibnu Katsir rahimahullah berkata menafsirkan makna Al Wasilah:
قال سفيان الثوري، حدثنا أبي، عن طلحة، عن عطاء، عن ابن عباس: أي القربة. وكذا قال مجاهد, وعطاء, وأبو وائل، والحسن، وقتادة، وعبد الله بن كثير، والسدي، وابن زيد. وقال قتادة: أي تقربوا إليه بطاعته والعمل بما يرضيه.. وهذا الذي قاله هؤلاء الأئمة لا خلاف بين المفسرين فيه.
Berkata Sufyan Ats Tsauri: haddatsana ayahku dari Thalhah dari ‘Atha dari ibnu Abbas: “Maknanya adalah al qurbah (ketaatan). Demikian pula yang dikatakan oleh Mujahid, ‘Atha, Abu Wail, Al Hasan, Qatadah, Abdullah bin Katsir, As Suddi dan ibnu Zaid. Qatadah berkata: “Artinya bertaqarrublah kepadanya dengan melalui ketaatan kepadaNya dan mengamalkan apa yang diridlaiNya”. Dan yang dikatakan oleh para imam ini tidak ada perselisihan diantara mufassirin (ahli tafsir)”.[3]
Jadi, ayat ini sama sekali tidak menunjukkan bolehnya bertawassul kepada para nabi atau orang shalih yang telah meninggal, namun menunjukkan kepada tawassul dengan melalui amal shalih dan ketaatan.
Syubhat 2: Firman Allah Ta’ala yang artinya:
“Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (An Nisaa: 64).
Mereka berkata: “Ayat ini bersifat umum, baik datang kepada Rasulullah ketika masih hidup maupun setelah matinya”.
Jawab:
Pertama: Ayat ini hanya menunjukkan memohon kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar memintakan ampun kepada Allah ketika beliau masih hidup, jadi ini adalah tawassul dengan melalui orang shalih yang masih hidup dan hadir, dan ini boleh berdasarkan ijma’ kaum muslimin. Maka berdalil untuk membolehkan bertawassul kepada Nabi setelah matinya dengan ayat ini adalah termasuk qiyas, yaitu mengqiyaskan orang yang hidup dengan orang yang telah mati, dan ini batil. karena perbedaan antara orang yang hidup dengan orang yang telah mati ditetapkan oleh firman Allah Ta’ala yang artinya:
“Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberi pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang didalam kubur dapat mendengar”. (Fathir: 22).
Dan diantara syarat sah qiyas adalah persamaan illat antara cabang dan pokok, sedangkan di sini illatnya berbeda, yaitu datang kepada nabi setelah meninggal diqiyaskan kepada datang kepada nabi ketika masih hidup, dan qiyas yang berbeda illatnya adalah batil dengan kesepakatan ahli ushul.
Kedua: Pemahaman ini tidak pernah difahami oleh para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak ada satupun para shahabat atau tabi’in atau tabi’uttabi’in yang datang kepada kuburan Nabi dan berkata: “Wahai Rasuullah, aku telah melakukan dosa begini dan begitu, maka mohonkanlah ampunan kepada Allah untukku”. Kalaulah pemahaman itu benar, tentu mereka yang terlebih dahulu memahaminya dan melakukannya.
Syubhat 3. Ayat-ayat dan hadits yang menyebutkan bahwa para Nabi dan orang-orang shalih itu hidup dalam kuburnya dan menjawab salam orang yang memberi salam kepadanya, seperti hadits Abu hurairah:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَا مِنْ أَحَدٍ يُسَلِّمُ عَلَىَّ إِلاَّ رَدَّ اللَّهُ عَلَىَّ رُوحِى حَتَّى أَرُدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمَ ».
“Sesunnguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada seorangpun yang mengucapkan salam kepadaku, kecuali Allah akan mengembalikan ruhku sampai aku jawab salamnya”. (HR Abu Dawud dan dihasankan oleh Syaikh Al Bani).
Dan juga firman Allah Ta’ala yang artinya:
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki”. (Ali Imran: 169).
Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
الأَنْبِيَاءُ أَحْيَاءٌ فِي قُبُورِهِمْ يُصَلُّونَ
“Para Nabi hidup dikuburan mereka shalat”. (HR Al Bazzar).
Mereka berkata: “Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa Nabi hidup di dalam kuburnya seperti kehidupan di dunia, sehingga boleh bertawassul kepadanya”.
Jawab:
Pertama: Kehidupan mereka di alam kubur adalah kehidupan alam barzakh yang tidak sama dengan kehidupan dunia.
Al Hafidz ibnu Hajar rahimahullah ketika berbicara tentang definisi shahabat berkata: “Adapun orang yang melihat Nabi setelah wafatnya dan sebelum dikuburkan, yang rajih ia bukan shahabat, sebab bila ia dianggap shahabat maka orang yang melihat jasad Rasulullah di dalam kuburnya walaupun di zaman ini tentu termasuk shahabat.. dan hujjah (alasan) orang yang berpendapat bahwa orang yang melihat Nabi setelah wafat sebelum dikuburkan dianggap sebagai shahabat adalah bahwa Nabi masih hidup terus, padahal kehidupan beliau (setelah mati) adalah kehidupan ukhrawiyah yang tidak berhubungan dengan hukum-hukum dunia, karena para syuhadapun hidup, namun aturan-aturan yang berlaku untuk mereka setelah terbunuh sama dengan aturan-aturan untuk mayat-mayat lainnya”.[4]
Dan kehidupan alam barzakh adalah kehidupan alam ghaib yang tidak bisa diqiyaskan dengan kehidupan dunia, dan kalaulah hidup beliau di kuburnya sama dengan kehidupan dunia, tentu orang yang melihat jasadnya di zaman ini dianggap sebagai shahabat dan ini batil, juga tentunya beliau akan makan, minum, berpakaian, menikah dan sebagainya.
Kedua: Hadits yang menyebutkan bahwa Nabi dan orang-orang shalih dapat menjawab salam orang yang mengucapkan salam kepadanya hanya menunjukkan bahwa roh Nabi dikembalikan ke jasadnya hanya untuk menjawab salam, dan tidak menunjukkan bahwa ruhnya terus menerus berada di jasadnya di setiap waktu.
Ketiga: Kalaulah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hidup di kuburnya seperti kehidupan beliau di dunia sehingga boleh bertawassul kepadanya, tentu para shahabat, para tabi’in dan tabi’uttabi’in yang pertama kali mendatangi kuburan beliau untuk menyelesaikan berbagai macam konflik dan perselisihan yang terjadi di zaman mereka, namun kita tidak pernah mendapat ada seorang shahabat yang melakukannya, tidak pula tabi’in dan tabi’uttabi’in, kalaulah itu baik tentu mereka yang lebih dahulu melakukannya, karena mereka adalah generasi terbaik yang paling memahami agama ini dengan persaksian dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
[1] Al Jaami’ li ahkaamil qur’an 15/233.
[2] Dirujuk tafsir Ath thabari
[3] Tafsir ibnu Katsir 3/75 tahqiq Hani Al haj.
[4] Fathul bari 7/4.